Sense of Enterpreneurship, Sebuah Titik Balik
Sabtu malam kemarin saya membaca sebuah buku lama tentang kewirausahaan dan saya terpaku pada sebuah pernyataan yang dikutip dari salah satu buku Rhenald Kasali, dan uniknya Rhenald Kasali juga mengutipnya dari salah satu pidato wisuda seorang dekan sekolah bisnis terkemuka.
Kurang lebih seperti ini pernyataannya:
"..pertama, saya memberikan respek kepada mereka yang lulus cumlaude karena mereka akan menjadi kolega saya. Kedua, kita harus memberi hormat yang dalam kepada mereka yang nilainya sedang karena mereka akan menjadi pengusaha, tapi kita harus berhati-hati kepada mereka yang memperoleh nilai D karena mereka akan menjadi ... atasan kita."
Menggelitik dan sarat makna atas pentingnya jiwa kewirausahaan.
Menjadi pekerja/bekerja di perusahaan milik orang lain memang bukan merupakan pekerjaan yang tidak bagus tapi paling tidak bercita-citalah agar suatu hari kelak kita bisa membangun kerajaan bisnis kita sendiri.
Pak Ci yang sangat concern dengan pengembangan jiwa kewirausahaan sangat sering memberikan tulisan-tulisan yang memotivasi pemerintah,dunia pendidikan, dan masyarakat agar tidak terpaku kepada sebuah standard nilai dalam menentukan masa depan sebuah bangsa. Berwirausaha tidak akan menurunkan gengsi seorang sarjana sekalipun. Indonesia harus berbenah, mempersiapkan mental sumber daya manusia yang memiliki daya juang tinggi dalam peningkatan kualitas ekonomi nasional.
Pernahkan Anda memperhatikan, bahwa selama 12 tahun lebih sejak kita masih kanak-kanak, desain pendidikan kita adalah agar kita bisa "mencari kerja", "menjadi pegawai negeri", "mendapatkan pangkat", dan lainnya; tapi sebagian kecil dari kita yang berpikir dan bertindak untuk "membuat usaha", "membuka peluang", yang lebih kepada sinyal positif kemandirian dalam ekonomi.
Saya sependapat dengan buku yang saya baca bahwa tidak banyak mahasiswa kita yang bisa menjawab apa potensi, kelebihan, dan kekurangannya. Jika mereka tidak sanggup menjawab dengan tegas pertanyaan tersebut maka mereka belum mengenal jati diri mereka.
Banyak pengusaha di Indonesia (gak usah jauh-jauh lihat contoh dari luar negeri) yang memulai usaha dari nol (usaha kecil) dan mungkin juga tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi.
Kurang lebih seperti ini pernyataannya:
"..pertama, saya memberikan respek kepada mereka yang lulus cumlaude karena mereka akan menjadi kolega saya. Kedua, kita harus memberi hormat yang dalam kepada mereka yang nilainya sedang karena mereka akan menjadi pengusaha, tapi kita harus berhati-hati kepada mereka yang memperoleh nilai D karena mereka akan menjadi ... atasan kita."
Menggelitik dan sarat makna atas pentingnya jiwa kewirausahaan.
Menjadi pekerja/bekerja di perusahaan milik orang lain memang bukan merupakan pekerjaan yang tidak bagus tapi paling tidak bercita-citalah agar suatu hari kelak kita bisa membangun kerajaan bisnis kita sendiri.
Pak Ci yang sangat concern dengan pengembangan jiwa kewirausahaan sangat sering memberikan tulisan-tulisan yang memotivasi pemerintah,dunia pendidikan, dan masyarakat agar tidak terpaku kepada sebuah standard nilai dalam menentukan masa depan sebuah bangsa. Berwirausaha tidak akan menurunkan gengsi seorang sarjana sekalipun. Indonesia harus berbenah, mempersiapkan mental sumber daya manusia yang memiliki daya juang tinggi dalam peningkatan kualitas ekonomi nasional.
Pernahkan Anda memperhatikan, bahwa selama 12 tahun lebih sejak kita masih kanak-kanak, desain pendidikan kita adalah agar kita bisa "mencari kerja", "menjadi pegawai negeri", "mendapatkan pangkat", dan lainnya; tapi sebagian kecil dari kita yang berpikir dan bertindak untuk "membuat usaha", "membuka peluang", yang lebih kepada sinyal positif kemandirian dalam ekonomi.
Saya sependapat dengan buku yang saya baca bahwa tidak banyak mahasiswa kita yang bisa menjawab apa potensi, kelebihan, dan kekurangannya. Jika mereka tidak sanggup menjawab dengan tegas pertanyaan tersebut maka mereka belum mengenal jati diri mereka.
Banyak pengusaha di Indonesia (gak usah jauh-jauh lihat contoh dari luar negeri) yang memulai usaha dari nol (usaha kecil) dan mungkin juga tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi.
- Adrie Wongso, pemilik Harvest dan motivator terkenal bangga dengan gelar SDTT (SD Tidak Tamat). Memulai hidup dengan tempaan yang luar biasa hingga sukses membangun karir dan bisnis seperti saat ini.
- Sukyatno Nugroho, pemilik waralaba Es Teler 77 dan beberapa waralaba nasional lainnya, juga bangga dengan gelar MBA (Manusia Bisnis Asal-asalan). Memulai bisnis dengan berbekal ijasah SMP.
- Putu Sudiartha, pemilik Bamboomedia adalah mantan dosen yang meninggalkan kampus untuk membangun kerajaan bisnis software di Bali
- Agus Swastika, pemilik rumahmedia adalah mantan dosen yang juga meninggalkan kampus untuk membangun kualitas IT bagi masyarakat Bali dan pengembangan sistem informasi bagi dunia bisnis, pemerintahan, dan pariwisata.
- dan masih banyak contoh pebisnis Indonesia yang tangguh dan bisa dijadikan panutan
Jujur, ini juga yang memaksa saya untuk menjadi 'jengah' atas kehidupan saya saat ini. Seorang kawan mengirim email kepada saya dengan isi yang singkat, "selamat karena Anda berani meninggalkan comfort zone".
Semoga ini menjadi pemicu semangat juga bagi Anda untuk lebih berani berwirausaha. Pendidikan memang penting, tapi pastikan pendidikan Anda juga dapat membantu diri Anda dan orang lain secara positif. Bekerja dengan orang lain bukan pilihan yang salah, tapi pastikan Anda suatu saat mampu membangun kerajaan bisnis Anda sendiri.
Comments